Tidak
bisa dipungkiri virus Corona yang hingga kini di Indonesia telah memakan korban
meninggal dunia lebih dari 32 orang, menimbulkan rasa khawatir akan keselamatan
jiwa bangsa ini. Kekhawatiran itu kemudian di kalangan umat Islam memunculkan
sikap-sikap keberagamaan tertentu yang semuanya ada rujukannya di dalam
Al-Quran.
Memang begitulah seharusnya orang-orang beriman menyikapi persoalan-persoalan
hidupnya sebagaimana diperintahkan di dalam Al-Qur'an. Di dalam kitab suci ini
terdapat ayat-ayat yang isinya sangat beragam namum masing-masing tidak saling
menafikan tetapi bersinergi sehingga menjadi sebuah trilogi, yakni (1) ikhtiar
(usaha), (2) doa, dan (3) tawakal. Penjelasannya sebagai berikut:
1. Ikhtiar
Jika seseorang mengharapkan sesuatu,
misalnya perubahan nasib, mendapatkan rezeki, ilmu, kelulusan ujian, kesehatan
dan sebagainya, maka ia harus melakukan suatu upaya lahiriah secara aktif dan
nyata, dan inilah yang disebut ikhtiar atau usaha. Demikian pula jika kita
berharap terhindar atau selamat dari acaman virus Corona yang mematikan itu
kita harus memperhatikan petunjuk dari para ahli di bidang kesehatan sebab
merekalah yang secara khusus mendalami ilmu di bidang ini yang hukum
mempelajarinya adalah fadhu kifayah sebagaima pendapat Imam al-Ghazali.
Salah satu petunjuk dari para ahli kesehatan terkait dengan virus Corona yang telah terbukti dapat menular dan menyebar dengan sangat cepat ini adalah agar kita menghindari berkumpul dalam jumlah besar dalam waktu dan tempat yang sama. Alasannya adalah hal semacam ini berpotensi menularkan dan menyebarkan virus Corona dengan terjadinya kontak fisik secara langsung di antara orang-orang yang berkumpul itu.
Petunjuk itu kemudian oleh para ulama yang tergabung dalam ormas atau lembaga tertentu seperti LBM PBNU, MUI dan Kementerian Agama ditindak lanjuti dengan imbauan untuk sementara tidak mengadakan shalat Jumat di masjid-masjid bagi daerah-daerah di zona merah virus Corona. Sebagai gantinya masyarakat dianjurkan untuk melaksanakan shalat Dzuhur empat rakaat di rumah masin-masing.
Ketiga lembaga tersebut berwenang mengeluarkan imbauan seperti itu karena memang itu wilayah tanggung jawab mereka. Pertanyaannya, apakah usaha atau ikhtiar agar terhindar dari tertular atau menularkan virus Corona memiliki dasar di dalam ajaran Islam?
Jawabnya “Ya”, yakni Surat Ar-Ra’d, ayat 11 sebagai berikut:
إِنَّ اللهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Merujuk pada ayat tersebut, ancaman virus Corona bisa saja akan terus berlangsung sampai ada usaha-usaha nyata untuk menanganinya. Dalam hal ini ada dua tindakan untuk menangani, yakni mencegah (to prevent) dan mengobati (to cure). Anjuran untuk sementara tidak melaksanakan shalat Jumat di masjid-masjid merupakan tindakan pencegahan. Inilah kewajiban para ulama. Sedangkan tindakan pengobatan hanya dapat dilakukan oleh para dokter.
Berikhtiar adalah wajib. Maka barangsiapa mau berikhtiar, ikhtiarnya akan dicatat sebagai ibadah. Jika ikhtiarnya membuahkan hasil, maka setidaknya ia akan mendapat 2 (dua) keuntungan. Pertama, ia akan memperoleh pahala dari Allah. Kedua, ia akan mendapat keberhasilan atau manfaat dari apa yang telah ia usahakan. Tetapi jika ikhtiarnya belum berhasil, maka setidaknya ia akan mendapat pahala dari Allah. Jika ia sabar, maka ia akan mendapatkan pahala yang berlipat.
2. Do’a
Untuk memperlancar atau mempermudah upaya lahiriah kita mencapai keberhasilan dalam menangani kasus virus Corona, kita juga harus juga melakukan ikhtiar batiniah, yakni berdoa kepada Allah. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Surat Al Mu’min, ayat 60 sebagai berikut:
ادْعُونِي
أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Artinya: “Berdoalah kepada-Ku, Aku akan mengabulkannnya.”
Allah akan menjawab
atau memberikan ijabah terhadap apa yang menjadi permohonan kita dalam
menangani virus Corona jika kita berdoa kepada-Nya. Gus Mus, sebagaimana
dikutip dari NU Online (Senin, 15/3), memberikan amalan doa menghadapi virus
Corona antara lain sebagai berikut:
بِسْمِ
اللهِ لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْئٌ فِي اْلأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ
السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ،
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah
yang bersama nama-Nya tidak ada sesuatu yang berbahaya baik di bumi maupun di
langit. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Mengetahui.”
Doa tersebut suapaya dibaca sehabis Subuh dan Maghrib dan juga ketika hendak
keluar rumah. Selain itu KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) memberikan amalan dengan
mewiridkan asma Allah يا
سلام (yã Salãm) يا حفيظ (yã Hafiizh), dan يا مانع يا ضآر ، (yã Mãni'u yã Dhãrru), yang masing-masing dibaca minimal 20 kali
setiap sehabis salat.
Hikmah berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala dalam kaitannya dengan ikhtiar adalah bahwa ikhtiar batin ini akan mendekatkan kita kepada-Nya, dan oleh karena itu akan memperlancar tercapainya apa yang kita ikhtiarkan dan mohonkan. Hikmah lain adalah bahwa dengan berdoa, kita akan terhindar dari klaim bahwa keberhasilan kita semata-mata karena ikhtiar kita sendiri tanpa campur tangan dari Allah. Tentu ini akan mejadi kesombongan yang luar biasa. Na’udzu billahi min dzalik.
3. Tawakal
Selain melakukan
ikhtiar dan doa kepada Allah dalam upaya kita melepaskan diri dari ancaman
virus Corona, ada satu hal lagi yang tidak boleh kita tinggalkan, yakni
tawakal. Dalam surat Ali Imran, ayat 159, Allah berfirman:
فَإِذَا
عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertwakallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang brtawakal pada-Nya.”
Menurut Imam Hanbali tawakal merupakan perbuatan hati. Artinya, tawakal bukan
sesuatu yang diucapkan oleh lisan semata, bukan pula sesuatu yang dilakukan
oleh anggota tubuh. Tetapi sekali lagi, tawakal merupakan perbuatan hati
sehingga tidak bisa diwujudkan dalam bentuk fisik, seperti berdiam diri tanpa
melakukan suatu ikhtiar lahiriah. Artinya tawakal tidak meniadakan ikhtiar.
Oleh karena itu,
dalam kaitan dengan virus Corona kita tidak boleh berserah diri kepada Allah
begitu saja tanpa melakukan iktiar nyata agar terhindar dari virus Corona.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan petunjuk bahwa tawakal itu
tidak meniadakan ikhtiar yang masuk akal terkait dengan persoalannya
sebagaimana beliau tunjukkan dalam suatu hadits tentang perlunya mengikat unta
sebelum memasrahkannya kepada Allah dengan tawakal. Hadits tersebut
diriwayatkan Ibnu Hibban sebagai berikut:
اِعْقِلْهَا
وَتَوَكَّلْ
Artinya: “Ikatlah untamu dan bertawakkallah.”
Oleh karena itu, petunjuk dari para ulama tentang imbauan melakukan shalat
Dzuhur dan sebagai ganti dari shalat Jumat di masjid untuk daerah yang sudah
dinyatakan zona merah virus Corona sebaiknya kita perhatikan. Demikian pula
imbauan dari para ahli kesehatan untuk melakukan pola hidup sehat,
sering-sering cuci tangan dengan menggunakan sabun dan mengurangi mobilitas
yang tak perlu juga harus diperhatikan. Tidak hanya itu usaha menjaga imunitas
diri juga harus dilakukan agar tidak mudah terdampak oleh virus Corona.
Setelah ikhtiar-ikhtiar lahiriah dan batiniah itu kita lakukan dengan sungguh-sungguh, maka kita pasrahkan persoalan virus Corona dan hasil dari ikhtiar-ikhtiar itu kepada Allah dengan meyakini bahwa apapun ketentuan Allah adalah yang terbaik. Dalam kaitan ini, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengimbau agar umat Islam meningkatkan iman, bertawakal dan ridha menerima ketentuan Allah dengan merebaknya wabah Covid-19 ini (NU Online, Jumat, 20/3).
Tawakal memang sangat penting disamping ikhtiar dan doa. Allah mencintai orang-orang-orang yang senantiasa berserah diri kepada-Nya. Seperti kita ketahui dan mungkin sering kita alami bahwa tidak setiap yang kita usahakan atau mohonkan akan tercapai dengan segera sebagaimana kemauan kita. Allah-lah yang mengatur seluruh alam dengan segala permasalahannya.
Allah juga Maha Tahu terhadap apa yang akan terjadi di masa depan. Allah Maha Adil dan Bijaksana dengan semua rencana dan keputusan-Nya. Oleh karena itu, sudah seharusnya ikhtiar dan doa kita, kita pasrahkan sepenuhnya kepada-Nya. Biarlah Allah yang mengatur kapan ikhtiar dan doa kita akan terkabul. Allah lebih tahu apa yang terbaik buat hamba-hamba-Nya. Terkadang, apa yang baik menurut manusia belum tentu baik menurut Allah subhanahu wata’ala.
Jadi memang ikhtiar, doa dan tawakal harus selalu ada dan kita lakukan secara serempak terkait dengan bagaimana kita harus menghadapi wabah virus Corona (Covid-19). Ikhtiar dan tawakal tidak saling bertentangan karena masing-masing berjalan di atas relnya sendiri. Ikhtiar berada dalam di wilayah lahiriah sedang tawakal di wilayah batiniah. Bisa saja orang yang sangat tinggi tawakalnya justru menempuh ikhtiar paling sungguh-sungguh dengan bersikap sangat hati-hati dalam menghadapi persoalan-persoalan seperti virus Corona.
Namun demikian, sungguhpun ikhtiar dan tawakal berjalan di atas rel masing-masing, keduanya terhubung dengan doa karena doa merupakan ikhtiar batiniah. Ketiga hal itu harus kita laksakanakan secara seimbang (tawazun) karena kita adalah para pengikut Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah. Jika kita hanya bertawakal, kita akan sama saja dengan kaum jabariah yang dalam semua persoalan hanya pasrah kepada Allah tanpa ikhtiar yang memadai. Tetapi jika kita hanya mengadalkan ikhtiar saja tanpa doa dan tawakal yang memadai, kita akan sama saja dengan kaum Mu’tazilah yang semata-mata mengandalkan ikhtiar-ikhtiar lahiriah
Kesimpulannya kita harus bersikap tengah-tengah (tawasuth) dan seimbang (tawazun) dalam menghadapi wabah virus Corona (Covid-19) dengan melaksanakan trilogi: ikhtiar, doa dan tawakal. Bahkan kita juga harus bersikap toleran (tasamuh) ketika kita melihat di antara saudara-saudara kita melakukan cara yang berbeda dalam menghadapi virus Corona sepanjang cara-cara itu masih dalam kerangka trilogi di atas. Jangan sampai kita terbelah atau terpisah gara-gara virus Corona ini sebagaimana kekhawatiran Rais Aam Idarah Aliyah Jam'iyah Ahlit Thariqah Mu'tabarah An-Nahdliyah (Jatman) Habib Muhammad Luthfi bin Yahya (NU Online, Jumat, 20/3).
Di tulis oleh : Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas
Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta, dalam NU Online, Sabtu, 21 Maret 2020
Sumber