Lafal dan Cara Niat
Puasa Ramadhan Sebulan Penuh
Ulama mazhab empat
sepakat bahwa puasa Ramadhan wajib dimulai dengan niat. Hanya saja mereka
berbeda pendapat mengenai teknis niatnya. Menurut tiga mazhab selain
Malikiyyah, wajib mengulangi niat di setiap kali puasa.
Sedangkan menurut
pendapat Malikiyyah cukup untuk menjamak (mengumpulkan) niat puasa sebulan di
malam pertama bulan Ramadhan. Mereka tidak mewajibkan mengulangi niat di hari
berikutnya.
Pendapat Malikiyyah
ini juga lazim dipakai di Indonesia. Meski penduduknya mayoritas penganut
mazhab Syafi’i, tetapi dalam kasus niat puasa sebulan ini mereka dibimbing oleh
para kiai dan masyayikh untuk mengadopsi teorinya mazhab Maliki dalam praktik
niat di awal Ramadhan.
Banyak di beberapa
masjid dan mushala saat malam pertama Ramadhan masyarakat dibimbing oleh para
tokohnya untuk bersama-sama melaksanakan niat puasa sebulan versi mazhab
Malikiyyah.
Namun demikian,
tuntunan tersebut bukan berarti menyimpulkan tidak perlu niat di hari-hari
berikutnya. Masyarakat tetap dibimbing untuk rutin melaksanakan niat puasa
setiap hari. Hal tersebut dilakukan sebagai langkah antisipasi bila mana di
kemudian hari lupa niat, puasanya tetap sah dan bisa diteruskan, sebab
dicukupkan dengan niat puasa sebulan penuh di awal Ramadhan.
Pengasuh Pondok
Pesantren Lirboyo Kediri KH A Idris Marzuqi—semoga Allah merahmatinya—di dalam
karyanya Sabil al-Huda yang berisikan himpunan wadhifah dan amaliyah
menegaskan: “Untuk berjaga-jaga agar puasa tetap sah ketika suatu saat lupa
niat, sebaiknya pada hari pertama bulan Ramadhan berniat taqlid (mengikut) pada
Imam Malik yang memperbolehkan niat puasa Ramadhan hanya pada permulaan saja.
Dan adanya cara tersebut bukan berarti membuat kita tidak perlu lagi niat di
setiap harinya, tetapi cukup hanya sebagai jalan keluar ketika benar-benar lupa,”
(KH. A. Idris Marzuqi, Sabil al-Huda, hal. 51).
Di dalam kitab tersebut, ulama
kharismatik dari Kediri, Jawa Timur, tersebut mencontohkan lafazh niatnya
sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ جَمِيْعِ شَهْرِ
رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ تَقْلِيْدًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ فَرْضًا لِلهِ
تَعَالَى
“Aku niat berpuasa di sepanjang bulan Ramadhan tahun ini dengan mengikuti Imam Malik, fardhu karena Allah” (terjemahan dari penulis).
“Aku niat berpuasa di sepanjang bulan Ramadhan tahun ini dengan mengikuti Imam Malik, fardhu karena Allah” (terjemahan dari penulis).
Problem muncul ketika di awal Ramadhan
tidak dapat menjalankan puasa, semisal wanita yang tengah mengalami menstruasi.
Pertanyaannya adalah bisakah seseorang yang baru bisa berpuasa setelah hari
pertama Ramadhan berniat puasa versi pendapat Imam Malik di atas?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut
perlu memahami konteks dan alasan mengapa pendapat Malikiyyah memperbolehkan
menjamak niat di awal Ramadhan.
Para fuqaha Malikiyyah menegaskan bahwa
alasan dicukupkannya satu kali niat untuk puasa satu bulan adalah karena satu
bulan penuh puasa Ramadhan dihukumi satu kesatuan, sehingga niat di awal
Ramadhan sudah mencukupi untuk hari berikutnya. Selama sebulan, umat Islam
diwajibkan berpuasa tanpa ada jeda, seperti satu paket barang tanpa dicampuri
sesuatu yang lain.
Oleh karenanya, mazhab Maliki
membedakan antara puasa yang wajib dilakukan secara berkelanjutan tanpa ada
jeda, seperti Ramadhan, dan jenis puasa yang tidak wajib dilakukan secara
berkelanjutan, seperti qadha puasa Ramadhan.
Puasa jenis pertama, karena dilakukan
secara terus-menerus tanpa ada jeda berbuka, maka dihukumi satu kesatuan.
Sedangkan jenis puasa kedua karena diperbolehkan untuk memberi jeda waktu tidak
berpuasa, tidak dihukumi satu kesatuan antara satu puasa dengan puasa yan lain.
Untuk puasa jenis kedua, bila diniati
untuk dilakukan secara berkelanjutan, maka ulama Malikiyyah berbeda pendapat,
sebagian versi menyatakan dihukumi satu kesatuan, sedangkan versi yang lain
tidak dihukumi satu kesatuan.
Oleh karenanya, puasa Ramadhan boleh
diniati secara jama’ (dikumpulkan) dalam satu hari, sedangkan untuk puasa qadha
Ramadhan harus diniati sendiri-sendiri di setiap harinya.
Syekh Muhammad bin Yusuf al-Ghurnathi,
salah seorang pakar fiqih mazhab Maliki menegaskan:
ـ (وكفت نية لما يجب تتابعه) اللخمي:
أما ما تجب متابعته كرمضان وشهري الظهار وقتل النفس ومن نذر شيئا بعينه ومن نذر
متابعة ما ليس بعينه فالنية في أوله لجميعه تجزئه
“Ibnu Rusydi berkata,
adapun puasa yang boleh dipisah seperti qadha Ramadhan, puasa Ramadhan saat
bepergian, denda sumpah, fidyah al-adza (denda bagi orang ihram yang melanggar
keharaman saat ihram), maka pendapat yang jelas dari ikhtilaf ulama bahwa bila
ia bermaksud melakukan puasa tersebut secara terus-menerus, maka mencukupi
baginya satu niat, hukum satu niat tersebut akan menetap meski hilang sosoknya
selama tidak diputus dengan niat berbuka puasa secara sengaja. Adapun orang
yang tidak berniat melakukannya secara terus-menerus, maka tidak ada ikhtilaf
bahwa ia berkewajiban untuk memperbarui niat di setiap harinya” (Syekh Muhammad
bin Yusuf al-Ghurnathi al-Maliki, al-Taj wa al-Iklil, juz.3, hal. 338).
Mencermati referensi
di atas, maka diperbolehkan bagi seseorang yang baru bisa berpuasa di hari
kedua, ketiga, dan seterusnya untuk niat puasa sebulan sebagaimana tuntunan
dalam mazhab Maliki. Sebab tidak ada Fariq (titik perbedaan) antara niat
sebulan berpuasa di awal Ramadhan dan hari berikutnya. Di hari keberapapun niat
dilakukan, tetap masuk dalam sebuah titik temu, sepanjang hari bulan Ramadhan
dihukumi seperti satu kesatuan.
Dan seperti yang
telah di jelaskan di atas, anjuran niat puasa sebulan mengikuti mazhab Maliki
adalah sebagai langkah antisipasi mana kala di kemudian hari lupa niat puasa.
Artinya niat puasa tetap rutin dilakukan di setiap hari.
Demikian penjelasan
mengenai permasalahan niat versi mazhab Maliki yang dapat kami sampaikan.
Semoga kita diberi kelancaran dalam melakukan ibadah puasa.
Di tulis oleh Ustadz
M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan
Arjawinangun Cirebon Jawa Barat, (NU Online :Senin, 6 Mei 2019)